Jenderal Sudirman, Rokok, dan Tandu |
Bukan tanpa alasan kedua atribut itu, tandu dan mantel menjadi khas dalam penggambaran sosok Jenderal Sudirman.
Perokok Berat
Jenderal Sudirman adalah orang pertama yang dipercayakan menjabat panglima besar TKR (Tentara Keamanan Rakyat). Posisi ini selama 5 tahun berturut-turut ia emban saat TKR bermetamorfosis menjadi TNI (Tentara Nasional Indonesia) hingga akhir hayatnya.
Namun satu kelemahan jenderal yang rajin shalat dan taat agama ini, rokok. Ia adalah penggemar rokok yang dibuat sendiri, bukan rokok industri. Akibat kebiasaan merokoknya, ditambah aktivitasnya di medan perang, ia pun terkena penyakit tuberkulosis.
Tuberkulosis menyebabkannya mesti dirawat dokter khusus. Suatu hari ia pernah tak bisa bangun berhari-hari karena sakitnya itu. Namun ketika keadaan genting karena Belanda ingin menjajah kembali Indonesia pada 1949, ia nekad bangun dari bed restnya dan menghadap presiden Sukarno.
Saat menghadap itu, akibat kondisi tubuhnya yang masih sakit, ia datang dengan bermantel. Mantel setia ia gunakan selama memimpin gerilya di hutan. Bahkan hingga keluar dari hutan, dengan mantelnya yang lusuh digerus medan, ia kembali ke Yogyakarta yang saat itu jadi ibukota Republik Indonesia.
Memimpin Pasukan dari atas Tandu
Jenderal Sudirman memimpin pasukan untuk bergerilya di Gunung Wilis, Kediri. Namun di tengah jalan, mobil yang mereka kendarai tidak mampu melewati medan karena adanya sungai besar yang membelah. Sementara Jenderal Sudirman sedang lemah karena penyakitnya semakin parah menggerogoti paru-parunya.
Tandu Jendral Sudirman |
Tidak ada cara lain, jenderal Sudirman harus dipanggul dengan tandu. Maka ia pun didudukkan di atas tandu, lalu tentara setianya memanggulnya hingga desa Playen. Setiba di desa Playen, seorang pemilik kebun setempat meminjamkan sado miliknya untuk digunakan jenderal Sudirman.
Dalam kondisi sakit keras sang panglima besar ini rela bergerilya demi mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Semata atas sumpahnya: “mempertahankan negara Republik Indonesia sampai titik darah yang penghabisan.”
Tanggal 29 Januari 1950, sekitar 1 bulan setelah Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia, Jenderal Sudirman menghembuskan nafasnya yang terakhir. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Semaki, dengan iringan 4 tank, 80 motor, dan 2 kilometer kerumunan pelayat.